Masyarakat Flores Timur juga memiliki kisah atau cerita rakyat tentang asal-usul yang disebut Tutu Usu Maring Asa (Cerita Asal usul), salah satu di antaranya adalah kisah Wato Wele-Lia Nurat. Dalam masyarakat Flores Timur, tradisi lisan tidak dapat dilepaskan dari keadaan sejarah dan kebudayaan masyarakat pendukungnya, bahwa tradisi lisan masyarakat Flores yang menyangkut cerita asal-usul pada umumnya sangat terkait dengan unsur sejarah masa silam. (Taum, 1997: 4)
Masyarakat Flores Timur mengenal istilah orang Tena Mau atau kelompok
suku pendatang yang berasal dari kata tena (perahu) dan mau
(terdampar), istilah itu merujuk kepada para pendatang yang berasal dari
wilayah Nusantara Timur (Seram, Lembata) dan datang ke Flores
timur dengan menggunakan perahu. Sedangkan istilah Sina Jawa merupakan
istilah untuk menyebut wilayah yang berasal dari Nusantara Barat,
meliputi daerah Jawa, sumatera, Malaka dan Sumbawa, saat ini Sina Jawa
merupakan istilah untuk menyebut tempat yang jauh.(Taum, 1997: 5)
Menurut Misionaris Katolik Ernst Vatter, ada cerita lisan yang mengaitkan Sina Jawa dengan Malaka. (Vatter, 1932, 1984(terj). : 71) Dalam tradisi orang belu memang diceritakan bahwa rombongan Sina Mutin Malaka sempat singgah di Flores timur (Larantuka). Terdapat fakta
yang nenerangkan bahwa sejak kejatuhan Malaka ke tangan Belanda tahun
1641 banyak penduduk Malaka termasuk keturunan Portugis yang bermigrasi
ke Larantuka, Flores Timur.
Dalam cerita tradisi lisan yang dituturkan Markus Ratu Badin (68 tahun, 1994)(Taum, 1997: 49-50) yang berasal dari Larantuka diceritakan bahwa nenek moyang orang Flores Timur berasal dari Sina Jawa, yaitu kelahiran manusia kembar Wato Wele dan Lia Nurat dari sebutir telur yang berasal dari burung Elang yang juga orang tua Ema Watu Sem dan Bapa Modu Ma yang tinggal di Sina Jawa
http://ronaldtwain.com/sejarah-asal-muasal-suku-di-flores-timur/
Selasa, 28 Mei 2013
Eskimo
Eskimo, atau Esquimaux, adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang mendiami daerah kutub bumi, tidak termasuk Skandinavia dan sebagian besar Rusia, tapi termasuk bagian paling timur Siberia. Ada dua kelompok besar Eskimo, yaitu Inuit (di utara Alaska, Kanada, dan Greenland) dan Yupik (di barat Alaska dan Timur Jauh Rusia). Orang Eskimo memiliki hubungan dengan etnis Aleut dan Alutiiq dari Kepulauan Aleutian di Alaska dan juga Sug'piak dari Kepulauan Kodiak hingga Prince William Sound di selatan tengah Alaska.
Suku timur Eskimo, Inuit, berbicara dalam bahasa Inuktitut, sedangkan komunitas Eskimo barat Alaska, Yup'ik, berbicara dalam bahasa Yup'ik. Terdapat suatu kesamaan dialek antara keduanya, dan dialek Inuktitut paling barat dapat dianggap merupakan bentuk dari dialek Yup'ik.
Suku timur Eskimo, Inuit, berbicara dalam bahasa Inuktitut, sedangkan komunitas Eskimo barat Alaska, Yup'ik, berbicara dalam bahasa Yup'ik. Terdapat suatu kesamaan dialek antara keduanya, dan dialek Inuktitut paling barat dapat dianggap merupakan bentuk dari dialek Yup'ik.
Suku Bajau
Suku Bajau adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri
di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah
utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau yang Muslim ini
merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang
memasuki pesisir
Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau
sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar.
Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia
(terutama Indonesia Timur), bahkan sampai ke Madagaskar. Kebanyakan Suku
Bajau yang menyebar mulai tinggal menetap dan berbaur dengan suku-suku
lain.
Wilayah yang terdapat suku Bajau di Indonesia, antara lain :
Wilayah yang terdapat suku Bajau di Indonesia, antara lain :
- Kalimantan Timur (Berau, Bontang, dan lain-lain)[1]
- Kalimantan Selatan (Kota Baru) disebut orang Bajau Rampa Kapis
- Sulawesi Selatan (Selayar)
- Sulawesi Tenggara
- Nusa Tenggara Barat
- Nusa Tenggara Timur (pulau boleng,seraya,longos,pulau Komodo dan sekitarnya)
- Sapeken, Sumenep
- Dan lain-lain
IDENTIFIKASI BUDAYA AMBON
Ambon adalah sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang
terletak di Provinsi Maluku. Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal
dari bahasa Arab, yakni al-muluk. Penamaan tersebut dikarenakan yang
membuat peta daerah Maluku adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi
setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah menjadi Maluku.
Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. Sementara itu suku pendatang kebanyakan berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Maluku juga memiliki ikatan tradisi dengan bangsa-angsa kepulauan pasifik seperti bahasa, lagu daerah, makanan, perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik.
Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti berlayar dan bernenang.
Pendukung kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satunya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki nlai umum dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku.
Pulau Ambon merupakan pulau yang terletak di Kepulauan Maluku, di selatan Pulau Seram. Saat ini merupakan letak kota Ambon ibukota dari provinsi Maluku.
B. KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumahrumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.
Dalam proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah “PELA”.
Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa Islam tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987, hlm 183). Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya.
Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya “Pela (Gandong)” bisa menjadi jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di Maluku (Ambon)? Inilah yang masih merupakan pergumulan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ”Soa” dipimpin oleh seorang kepala ”Soa”, yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu urusan tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa kesatuan ”Soa” yang disebut dengan ”Negari”, dipimpin oleh seorang ”raja” yang diangkat berdasarkan keturunan. Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan keturunan, aturan adat suku Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya dilakukan dengan cara pemilihan dengan cara pemungutan suara. Berikut adalah beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Ambon :
Tuan tanah
Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan
Kapitan
Seseorang yang ahli dalam peperangan
Kewang
Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan
Marinyo
Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan Suku Ambon, banyak dijumpai Organisasiorganisasi kemasyarakatan yang memiliki berbagi macam visi dan misi. Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan Suku Ambon :
Patalima
Lima bagian, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun dilihat dari sejarah di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore, organisasi ini nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate dan Tidore, dan juga untuk membantu pertahanan dari serangan musuh.
Jajaro
Organisasi kewanitaan Suku Ambon
Ngungare
Organisasi kepemudaan
Pela Keras
Organisasi antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa, peperangan, dan lain-lain.
Pela Minum Darah
Hampir sama dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan cara meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.
Pela Makan Sirih
Organisasi antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid, gereja, dan sekolah
Muhabet
Organisasi yang mengurus semua kegiatan upacara kematian
Patasiwa
sembilan bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempa tinggal di sebelah baratsungai mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa dibagi menjadi dua kelompok yaitu patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa hitam wargawarganya di tato, sedangkan patasiwa putih tidak.
Pengertian Pela
Pela berasal dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”. Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masingmasing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm 184).
Jenis-Jenis Pela
a) Pela Keras Atau Pela Minum Darah
Dikatakan demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat “persaudaraan darah” untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan. Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan, antara lain:
- tidak boleh menikah
- saling membantu dan memikul beban.
Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batukarang.
b) Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih
Jenis pela ini tidak diikat dengan sumpah yang memakai darah, tetapi hanya dengan memakan sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin ribut ada yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari satu desa pada desa lain. Pela ini tidaklah keras, karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.
c) Pela Ade Kaka
Pela jenis ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri. Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung yang beragama kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan sumpah darah.
Panas Pela
Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengankat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.
Hubungan Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi
Pada hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian ata kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh. Inilah suatu pergumulan.
D. SISTEM KEKERABATAN
Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal.
Mata rumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat patrilineal. Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga kesatuan lain yang lebih besar dan bersifat bilateral yaitu famili atau kindred. Famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan keempat nenek moyang.
E. MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar batangbatang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi, tembakau, cengkih, dan buahbuahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam padi dengan teknik persawahan Jawa.
Sagu adalah makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman. Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya menjadi bubur kental (pepedu).
Disamping pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan. Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orangorang ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina dinamakan jungku atau orambi.
F. AGAMA DAN ADAT
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.
Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati diantara sesama dan antar sesama umat beragama.
G. UPACARA ADAT
H. SISTEM PERKAWINAN
Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan yaitukawin lari, kawin minta dan kawin masuk.
Kawin Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini terutama disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jarak pendek untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin lari sebenarnya tidak diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat wanita namun disukai oleh pihak pemuda. Terutama karena pemuda hendak menghindari kekecewaan mereka bila ditolak dan menghindari malu dari keluarga pemuda karena rencana perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa juga karena takut keluarga wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala persyaratan adat.
Bentuk perkawinan ang kedua adalah Kawin Minta yang terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang hendak dijadikan istri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Kemudian mereka mengumpulkan anggota famili untuk membicarakan masalah itu dan membuat rencana perkawinan. Disini diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan sebagainya. Akan tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya kurang diminati terutama bagi keluarga ang kurang mampu karena membutuhkan biaya yang besar.
Bentuk perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin Manua. Pada perkawinan ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga wanita. Ada tiga sebab utama terjadinya perkawinan ini:
Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. Sementara itu suku pendatang kebanyakan berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Maluku juga memiliki ikatan tradisi dengan bangsa-angsa kepulauan pasifik seperti bahasa, lagu daerah, makanan, perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik.
Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti berlayar dan bernenang.
Pendukung kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satunya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki nlai umum dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku.
Pulau Ambon merupakan pulau yang terletak di Kepulauan Maluku, di selatan Pulau Seram. Saat ini merupakan letak kota Ambon ibukota dari provinsi Maluku.
B. KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumahrumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.
Dalam proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah “PELA”.
Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa Islam tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987, hlm 183). Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya.
Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya “Pela (Gandong)” bisa menjadi jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di Maluku (Ambon)? Inilah yang masih merupakan pergumulan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ”Soa” dipimpin oleh seorang kepala ”Soa”, yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu urusan tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa kesatuan ”Soa” yang disebut dengan ”Negari”, dipimpin oleh seorang ”raja” yang diangkat berdasarkan keturunan. Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan keturunan, aturan adat suku Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya dilakukan dengan cara pemilihan dengan cara pemungutan suara. Berikut adalah beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Ambon :
Tuan tanah
Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan
Kapitan
Seseorang yang ahli dalam peperangan
Kewang
Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan
Marinyo
Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan Suku Ambon, banyak dijumpai Organisasiorganisasi kemasyarakatan yang memiliki berbagi macam visi dan misi. Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan Suku Ambon :
Patalima
Lima bagian, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun dilihat dari sejarah di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore, organisasi ini nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate dan Tidore, dan juga untuk membantu pertahanan dari serangan musuh.
Jajaro
Organisasi kewanitaan Suku Ambon
Ngungare
Organisasi kepemudaan
Pela Keras
Organisasi antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa, peperangan, dan lain-lain.
Pela Minum Darah
Hampir sama dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan cara meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.
Pela Makan Sirih
Organisasi antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid, gereja, dan sekolah
Muhabet
Organisasi yang mengurus semua kegiatan upacara kematian
Patasiwa
sembilan bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempa tinggal di sebelah baratsungai mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa dibagi menjadi dua kelompok yaitu patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa hitam wargawarganya di tato, sedangkan patasiwa putih tidak.
Pengertian Pela
Pela berasal dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”. Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masingmasing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm 184).
Jenis-Jenis Pela
a) Pela Keras Atau Pela Minum Darah
Dikatakan demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat “persaudaraan darah” untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan. Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan, antara lain:
- tidak boleh menikah
- saling membantu dan memikul beban.
Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batukarang.
b) Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih
Jenis pela ini tidak diikat dengan sumpah yang memakai darah, tetapi hanya dengan memakan sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin ribut ada yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari satu desa pada desa lain. Pela ini tidaklah keras, karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.
c) Pela Ade Kaka
Pela jenis ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri. Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung yang beragama kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan sumpah darah.
Panas Pela
Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengankat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.
Hubungan Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi
Pada hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian ata kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh. Inilah suatu pergumulan.
D. SISTEM KEKERABATAN
Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal.
Mata rumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat patrilineal. Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga kesatuan lain yang lebih besar dan bersifat bilateral yaitu famili atau kindred. Famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan keempat nenek moyang.
E. MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar batangbatang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi, tembakau, cengkih, dan buahbuahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam padi dengan teknik persawahan Jawa.
Sagu adalah makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman. Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya menjadi bubur kental (pepedu).
Disamping pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan. Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orangorang ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina dinamakan jungku atau orambi.
F. AGAMA DAN ADAT
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.
Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati diantara sesama dan antar sesama umat beragama.
G. UPACARA ADAT
- ”Antar Sontong”
- ”Pukul Manyapu”
H. SISTEM PERKAWINAN
Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan yaitukawin lari, kawin minta dan kawin masuk.
Kawin Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini terutama disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jarak pendek untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin lari sebenarnya tidak diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat wanita namun disukai oleh pihak pemuda. Terutama karena pemuda hendak menghindari kekecewaan mereka bila ditolak dan menghindari malu dari keluarga pemuda karena rencana perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa juga karena takut keluarga wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala persyaratan adat.
Bentuk perkawinan ang kedua adalah Kawin Minta yang terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang hendak dijadikan istri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Kemudian mereka mengumpulkan anggota famili untuk membicarakan masalah itu dan membuat rencana perkawinan. Disini diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan sebagainya. Akan tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya kurang diminati terutama bagi keluarga ang kurang mampu karena membutuhkan biaya yang besar.
Bentuk perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin Manua. Pada perkawinan ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga wanita. Ada tiga sebab utama terjadinya perkawinan ini:
- Karena kaum kerabat si pria tidak mampu membayar mas kawin secara adat.
- Karena keluarga si gadis hanya memiliki anak tunggal dan tidak punya anak laki-laki sehingga si gadis harus memasukkan suaminya ke dalam klen ayahnya untuk menjamin kelangsungan klen.
- Karena ayah si pemuda tidak bersedia menerima menantu perempuannya yang disebabkan karena perbedaan status atau karena alasan lainnya.
Suku Batak
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak
Suku Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari
bagian barat pulau Jawa,
Indonesia,
dengan istilah Tatar Pasundan
yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat,
Banten,
Jakarta,
dan Lampung.
Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya
19,91% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama
Islam,
akan tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama kristen,
Hindu,
dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan
masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan
dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang
berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Jati
diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya
dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan
riang.[2]
Orang Portugis
mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur
dan pemberani. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan
diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang Surawisesa
atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan
diplomatik dengan Bangsa lain pada abad ke 15 dengan orang Portugis di Malaka. Hasil
dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal.
Beberapa tokoh Sunda juga menjabat Menteri dan pernah menjadi wakil Presiden
pada kabinet RI.
Disamping
prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia)
dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah pada bidang budaya yaitu
banyaknya penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki
prestasi di tingkat nasional, maupun internasional.[3]
Etimologi
Menurut
Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund
atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar,
terang, berkilau, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa
Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian:
bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada
(Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).
Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan
menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah
dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman
kerajaan Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga sekarang .
Nama
Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman
pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya.
Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670,
Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara
menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan
Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah
dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh.
Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai
Citarum sebagai batasnya.
Pandangan Hidup
Selain
agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda juga mempunyai pandangan
hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pandangan hidup tersebut tidak
bertentangan dengan agama yang dianutnya karena secara tersurat dan tersirat
dikandung juga dalam ajaran agamanya, khususnya ajaran agama Islam. Pandangan
hidup orang Sunda yang diwariskan dari nenek moyangnya dapat diamati pada
ungkapan tradisional, juga dari naskah kuno.[4]
Hubungan antara sesama manusia
Hubungan
antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus
dilandasi oleh sikap “silih asih,
silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling
mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana
kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian,
ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan berikut
ini:
- Kawas gula jeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.
- Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.
- Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.
- Ulah nyolok mata buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.
- Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya
Hubungan
antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang
Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela
negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang
berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan,
dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat
Sunda terpancar dalam ungkapan-ungkapan:
- Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
- Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (bersama-sama dalam suka dan duka).
- Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun)
Bahasa

Dalam
percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini
telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi
menggunakan bahasa Sunda dalam bertutur kata.[5]
Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung
dan Bogor,
dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.
Ada
beberapa dialek
dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa
Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya
membedakan enam dialek berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
- Dialek Barat (Bahasa Banten)
- Dialek Utara
- Dialek Selatan (Priangan)
- Dialek Tengah Timur
- Dialek Timur Laut (Bahasa Sunda Cirebon)
- Dialek Tenggara
Dialek
Barat dipertuturkan di daerah Banten dan Lampung. Dialek Utara mencakup daerah
Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa daerah Pantura. Lalu dialek
Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya.
Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di Kabupaten Majalengka dan Indramayu.
Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Cirebon dan Kuningan, juga di
beberapa kecamatan di Kabupaten Brebes dan Tegal, Jawa Tengah. Dan akhirnya
dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis, juga di beberapa kecamatan di
Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.
Kesenian
Seni tari
Seni
tari utama dalam Suku Sunda adalah tari
jaipongan, tari merak, dan tari topeng.
Tanah
Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan
adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau
Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan
modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu.
Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu degung. Musik
ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti gendang,
gong, saron, kacapi, dsb.
Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari
Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang
terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya
dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang
menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau
pesta pernikahan.
Wayang Golek
Tanah
Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan
sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara
merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian
dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan
Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek
biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya.
Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk)
dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang
dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik
melawan tokoh jahat). Cerita wayang yang populer saat ini banyak diilhami oleh
budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh
dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada
‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan
Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka
merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering
memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh
tersebut dengan variasi yang sangat menarik.
Seni musik
Selain
seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan
Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan
nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan
Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden
karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini
salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :
Bubuy
Bulan Es Lilin Manuk Dadali Tokecang Warung Pojok
1.
Calung
Calung
adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan
angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah
dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang
tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis
bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun
ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
2.
Angklung
Angklung
adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang
ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal
penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal.
Rumah Adat
Rumah
tradisional Sunda suhunan Julang Ngapak di Papandak, Garut
Secara
tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8
m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua
usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya
digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi,
kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan
sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog yang
terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak
tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam
rumah.
Rumah
adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk
atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan
Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit
Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang
paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di
desa-desa.
Jolopong
memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan
rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah
bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding
dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.
Interior
yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang
depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau
patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang
terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut
padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi untuk menerima tamu. Dulu,
ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti
meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang barulah yang
empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah
disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi
untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk ruang tidur, digunakan
Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang yang digunakan
untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga. Ruangan tengah digunakan
sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk melaksanakan
upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.
Ditilik
dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki
pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang
Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan
rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern
lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari
ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah
menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat
jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang
digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan
lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk
tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas
orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata
dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
Sistem Kekerabatan
Akad
nikah adat Sunda di depan penghulu dan saksi.
Sistem
keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari
pihak bapak dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala
keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat
mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam
suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk
menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang
berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut
(piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal
seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara
piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta
vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya.
Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah,
silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah
dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan.
Masakan Khas
Beberapa
jenis makanan jajanan tradisional Indonesia yang berasal dari tanah sunda,
seperti sayur asem, sayur lodeh, pepes, lalaban, dll.
Profesi
Mayoritas
masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, dan berladang, ini disebabkan tanah
Sunda yang subur.[6]
Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat Sunda yang berladang secara
berpindah-pindah.
Selain
bertani, masyarakat Sunda seringkali memilih untuk menjadi pengusaha dan
pedagang sebagai mata pencariannya, meskipun kebanyakan berupa wirausaha
kecil-kecilan yang sederhana, seperti menjadi penjaja makanan keliling, membuka
warung
atau rumah makan, membuka toko barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari, atau
membuka usaha cukur rambut, di daerah perkotaan ada pula yang membuka usaha
percetakan, distro, cafe, rental mobil dan jual beli kendaraan bekas. Profesi
pedagang keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya
dan Garut.
Chairul
Tanjung, Eddy Kusnadi
Sariaatmadja, dan Sandiaga Uno merupakan contoh-contoh pengusaha
berdarah Sunda yang berhasil. Chairul Tanjung dan Eddy Kusnadi Sariaatmadja
bahkan masuk ke dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia yang dirilis majalah
Forbes pada tanggal 29 November 2012.
Profesi
lainnya yang banyak dilakoni oleh orang Sunda adalah sebagai pegawai
negeri, penyanyi, seniman, dokter, diplomat dan pengusaha.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sunda
Suku Bugis
Suku Bugis
Bugis merupakan kelompok
etnik dengan wilayah asal Sulawesi
Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat,
sehingga pendatang Melayu
dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi
sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa
dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.[2]
Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar
enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi
Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Papua,
Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak
yang merantau ke mancanegara.
Sejarah
Awal Mula
Bugis adalah suku yang
tergolong ke dalam suku-suku Melayu
Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata
"Bugis" berasal dari kata To
Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada
raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten
Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi
menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La
Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah
dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo
yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000
halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah
yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk,
Kaili, Gorontalo
dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Perkembangan
Dalam
perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan.
Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan,
bahasa,
aksara,
dan pemerintahan
mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone,
Wajo,
Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk
suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar
dan Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu,
Bone,
Wajo,
Soppeng, Sidrap,
Pinrang, Barru.
Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba,
Sinjai,
Maros,
Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang
kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah
di Pangkajene Kepulauan)
Masa Kerajaan
Kerajaan Bone
Di daerah
Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To
Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik
Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka
menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata
Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete
riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa
kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin
oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La
Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu
Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif
Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat
Kerajaan Makassar
Di abad
ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali
dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan
Makassar (Gowa) kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo.
Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa & Tallo) kembali
menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).
Kerajaan Soppeng
Di saat
terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang
wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah
Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala
Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua
kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.
Kerajaan Wajo
Sementara
kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di
sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan
supranatural yang disebut puangnge ri
lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang
dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya
Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama
setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi,
kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni
Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La Paukke Arung Cinnotabi I, We
Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung
Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung
Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa
krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih
La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo.
adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara
Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La
Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara
Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La
Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo
bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara
Kesatuan Republik Indonesia @arm
Konflik antar Kerajaan
Pada abad
ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai
muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan
ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu
dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di
Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah.
Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu
dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian
mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari
Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan
posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah
Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan
dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek
dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta
menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone,
Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut "tellumpoccoe".
Penyebaran Islam
Pada awal
abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh.
Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo,
Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk
ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.[3]
Kolonialisme Belanda
Pertengahan
abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi
beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan
terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka
didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang berhianat pada kerajaan
Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo,
Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan
banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan ini mengakibatkan
ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan
Gowa. Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa
adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan.
Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian pada tahun
1905-1906 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La
Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis
baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal
mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte
Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai
pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan
tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan
pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang
menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.
Masa Kemerdekaan
Para
raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno)
untuk membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun
1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan
pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan
kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti budaya di
Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga semakin terkikis. Sekarang generasi
muda Makassar & Bugis adalah generasi yang lebih banyak mengonsumsi budaya
material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat pendidikan
pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka. Seiring dengan arus reformasi,
munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk propinsi baru yaitu Sulawesi
Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara
banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya tanah
tidak bertambah luas, malah semakin sempit akibat bertambahnya populasi dan
transmigrasi.
Mata Pencaharian
Karena
masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata
pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu
masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
Perompak
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar
ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas
pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung
Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan
diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun
kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu
jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada
perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda
dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang
internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan
Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.[4]
Serdadu Bayaran
Selain
sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan
orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum
konflik terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia.
Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo
di Jawa Timur,
penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta
membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.[5]
Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu
bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan
kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.
Bugis Perantauan
Kepiawaian
suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun
hingga Malaysia,
Filipina,
Brunei,
Thailand,
Australia,
Madagaskar
dan Afrika
Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town,
Afrika Selatan terdapat sebuah suburb
yang bernama Maccassar, sebagai
tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka[rujukan?].
Penyebab Merantau
Konflik
antara kerajaan Bugis
dan Makassar
serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan
tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya
orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau
juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis
hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
Bugis di Kalimantan Timur
Sebagian orang-orang
Bugis Wajo
dari kerajaan Gowa
yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan
perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang
hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan
Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona
(bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa
itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas
kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi
sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha
Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa
orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama
di dalam menghadapi musuh.
Semua
rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah
Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran
karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain
itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Bugis di Sumatera dan Semenanjung Malaysia
Setelah
dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau
Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang
Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di
tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik
kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor
& selangor yang merupakan
keturunan Luwu.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis
Langganan:
Postingan (Atom)