Dampak
Keberagaman Budaya di Indonesia
Dalam
bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai potensi
keberagaman
budaya di Indonesia. Yang menjadi sebuah pertanyaan
besar
adalah dampak dari keberagaman budaya bagi integrasi bangsa.
Di
dalam potensi keberagaman budaya tersebut sebenarnya
terkandung
potensi disintegrasi, konflik, dan separatisme sebagai
dampak
dari negara kesatuan yang bersifat multietnik dan struktur
masyarakat
Indonesia yang majemuk dan plural. Menurut David
Lockwood
konsensus dan konflik merupakan dua sisi mata uang
karena
konsensus dan konflik adalah dua gejala yang melekat secara
bersama-sama
di dalam masyarakat. Sejak merdeka pada tanggal 17
Agustus
1945, Indonesia selalu diwarnai oleh
gerakan
separatisme, seperti gerakan separatis
DI/TII
dan RMS di Maluku. Gerakan
tersebut
saat ini juga berlangsung di Provinsi
Papua
yang dilakukan oleh OPM (Organisasi
Papua
Merdeka) di provinsi paling timur di
Indonesia
tersebut.
Karena
struktur sosial budayanya yang
sangat
kompleks, Indonesia selalu berpotensi
menghadapi
permasalahan konflik antaretnik,
kesenjangan
sosial, dan sulitnya terjadi
integrasi
nasional secara permanen. Hal
tersebut
disebabkan adanya perbedaan
budaya
yang mengakibatkan perbedaan
dalam
cara pandang terhadap kehidupan
politik,
sosial, dan ekonomi masyarakat.
Menurut
Samuel Huntington, Indonesia
adalah
negara yang mempunyai potensi disintegrasi paling besar setelah
Yugoslavia
dan Uni Soviet pada akhir abad ke-20. Menurut Clifford
Geertz
apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola keanekaragaman
etnik,
budaya, dan solidaritas etniknya maka Indonesia akan
berpotensi
pecah menjadi negara-negara kecil. Misalnya, potensi
disintegrasi
akibat gerakan Organisasi Papua Merdeka yang
menginginkan
kemerdekaan Provinsi Papua dari Indonesia.
Pola
kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi
dua.
Pertama, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat
(custom differentiation) karena
adanya perbedaan etnik, budaya, agama,
dan
bahasa. Kedua, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan
struktural
(structural differentiation) yang
disebabkan oleh adanya
perbedaan
kemampuan untuk mengakses potensi ekonomi dan politik
antaretnik
yang menyebabkan kesenjangan sosial antaretnik.
Sebagai
masyarakat majemuk, Indonesia memiliki dua kecenderungan
atau
dampak akibat keberagaman budaya tersebut, antara
lain
sebagai berikut.
1.
Berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik.
2.
Pemaksaan oleh kelompok kuat sebagai kekuatan utama yang
mengintegrasikan
masyarakat.
Namun,
kemajemukan masyarakat tidak
selalu
menunjukkan sisi negatif saja. Pada
satu
sisi kemajemukan budaya masyarakat
menyimpan
kekayaaan budaya dan khazanah
tentang
kehidupan bersama yang harmonis
apabila
integrasi masyarakat berjalan dengan
baik.
Pada sisi lain, kemajemukan selalu
menyimpan
dan menyebabkan terjadinya
potensi
konflik antaretnik yang bersifat laten
(tidak
disadari) maupun manifes (nyata) yang
disebabkan
oleh adanya sikap etnosentrisme,
primordialisme,
dan kesenjangan sosial.
Salah
satu gejala yang selalu muncul
dalam
masyarakat majemuk adalah terjadinya
ethnopolitic
conflict berbentuk
gerakan
separatisme yang dilakukan oleh
kelompok
etnik tertentu. Etnopolitic conflict
dapat
dilihat dari terjadinya kasus Gerakan
Aceh
Merdeka (GAM). Gerakan perlawanan
ini
bukan hanya timbul karena didasari oleh
adanya
ketidakpuasan secara politik masyarakat
Aceh
yang merasa hak-hak dasarnya
selama
ini direbut oleh pemerintah pusat.
Selama
ini rakyat Aceh merasa terpinggirkan
untuk
mendapatkan akses seluruh kekayaan
alam
Aceh yang melimpah ditambah adanya
sikap
primordialisme dan etnosentrisme
masyarakat
Aceh yang sangat kuat.
Pola
etnopolitic conflict dapat
terjadi dalam dua dimensi, yaitu
pertama,
konflik di dalam tingkatan ideologi. Konflik ini terwujud dalam
bentuk
konflik antara sistem nilai yang dianut oleh pendukung suatu
etnik
serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Kedua, konflik yang
terjadi
dalam tingkatan politik. Konflik ini terjadi dalam bentuk
pertentangan
dalam pembagian akses politik dan ekonomi yang terbatas
dalam
masyarakat.
Perbedaan
kesejarahan, geografis, pengetahuan, ekonomi, peranan
politik,
dan kemampuan untuk mengembangkan potensi kebudayaannya
sesuai
dengan kaidah yang dimiliki secara optimal sering menimbulkan
dominasi
etnik dalam struktur sosial maupun struktur politik, baik dalam
tingkat
lokal maupun nasional. Dominasi etnik tersebut pada akhirnya
melahirkan
kebudayaan dominan (dominant culture) dan kebudayaan
tidak
dominan (inferior culture) yang akan melahirkan konflik antaretnik
yang
berkepanjangan. Dominasi etnik dan kebudayaan dalam suatu
masyarakat
apabila dimanfaatkan untuk kepentingan golongan selalu
melahirkan
konflik yang bersifat horizontal dan vertikal.
Alternatif
Penyelesaian Masalah Keberagaman Budaya di
Indonesia
Berbagai
persoalan yang timbul akibat keberagaman budaya bangsa
Indonesia
yang plural dan majemuk ini memerlukan sebuah model
penyelesaian
yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga konflik
sosial
yang selama ini berkembang dapat diminimalkan. Sebuah
masyarakat
yang memiliki karakteristik heterogen pola hubungan sosial
antarindividunya
di dalam masyarakat, harus mampu mengembangkan
sifat
toleransi dan menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara
damai
satu sama lain dengan menerima setiap perbedaan-perbedaan yang
melekat
pada keberagaman budaya bangsa. Oleh karena itu, diperlukan
sebuah
konsep yang mampu mewujudkan situasi dan kondisi sosial yang
penuh
kerukunan dan perdamaian meskipun terdapat kompleksitas
perbedaan.
Kebesaran kebudayaan suatu bangsa terletak pada kemampuannya
untuk
menampung berbagai perbedaan dan keanekaragaman
kebudayaan
dalam sebuah kesatuan yang dilandasi suatu ikatan kebersamaan.
Salah
satu pengembangan konsep toleransi terhadap keberagaman
budaya
adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang multikultural
dengan
bentuk pengakuan dan toleransi, terhadap perbedaan dalam
kesetaraan
individual maupun secara kebudayaan. Dalam masyarakat
multikultural,
masyarakat antarsuku bangsa dapat hidup berdampingan,
bertoleransi,
dan saling menghargai. Nilai budaya tersebut bukan hanya
merupakan
sebuah wacana, tetapi harus dijadikan pedoman hidup dan
Ciri
khas masyarakat majemuk seperti keanekaragaman suku bangsa
telah
menghasilkan adanya potensi konflik antarsuku bangsa dan antara
pemerintah
dengan suatu masyarakat suku bangsa. Potensi-potensi
konflik
tersebut merupakan permasalahan yang ada seiring dengan sifat
suku
bangsa yang majemuk. Selain itu, pembangunan yang berjalan
selama
ini menimbulkan dampak berupa terjadinya ketimpangan regional
(antara
Pulau Jawa dengan luar Jawa), sektoral (antara sektor industri
dengan
sektor pertanian), antarras (antara pribumi dan nonpribumi), dan
antarlapisan
(antara golongan kaya dengan golongan miskin).
nilai-nilai
etika dan moral dalam perilaku
masyarakat
Indonesia. Dalam prinsip multikulturalisme
ini
penegakan prinsip-prinsip
demokrasi
menjadi tujuan utama nilai-nilai
sosial.
Dalam
melaksanakan prinsip demokrasi terdapat beberapa
persyaratan
yang harus dipenuhi. Pertama, sistem negara menganut
prinsip
demokrasi partisipatif. Dalam sistem demokrasi partisipatif,
hukum
adalah supremasi tertinggi dengan tidak memihak pada
kelompok
tertentu. Semua kelompok masyarakat, baik mayoritas atau
minoritas,
kaya atau miskin dikendalikan melalui prinsip-prinsip
hukum
yang objektif. Kedua, adanya distribusi pendapatan dan sarana
ekonomi
yang relatif merata. Artinya, tidak terjadi ketimpangan sosial
ekonomi
antarlapisan, golongan, dan daerah. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan
bahwa faktor ekonomi dan politik sangat penting dalam
mengelola
masyarakat majemuk tersebut.
Selain
itu, alternatif penyelesaian keberagaman budaya yang ada di
Indonesia
dilakukan melalui interaksi lintas budaya dengan
mengembangkan
media sosial, seperti pengembangan lambang-lambang
komunikasi
lisan maupun tertulis, norma-norma yang disepakati dan
diterima
sebagai pedoman bersama, dan perangkat nilai sebagai kerangka
acuan
bersama. Sebenarnya interaksi lintas budaya bagi masyarakat Indonesia
yang
tersebar di Kepulauan Nusantara bukan merupakan hal
yang
baru. Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, mobilitas penduduk
di
Kepulauan Nusantara tersebut cukup tinggi yang tercermin dalam
toponomi
perkampungan suku bangsa atau golongan sosial perkotaan
di
Indonesia. Gejala tersebut bukan hanya membuktikan betapa tingginya
Berdasarkan
pola-pola pemukiman yang tercermin dalam toponomi
perkampungan
suku bangsa terdapat pola pembagian kerja yang cukup
rapi
antara anggota suku bangsa dan golongan sosial yang membentuk
corporate
group perkotaan Indonesia di masa lampau. Pembagian
kerja
atau
spesialisasi yang menjadi sumber mata pencaharian yang ditekuni
oleh
masing-masing kelompok suku bangsa atau golongan sosial tersebut
telah
mendorong mereka untuk mendirikan perkampungan yang
memberikan
kesan eksklusif. Walaupun perkampungan eksklusif
kesukuan
ataupun golongan tersebut kini telah berkurang (survival),
namun
dalam perkembangan di perkotaan nampak adanya kecenderungan
para
pendatang baru untuk hidup berkelompok dalam suatu
perkampungan.
Hal ini didorong oleh adanya kesamaan profesi.
Misalnya,
di kota Surakarta terdapat perkampungan batik Laweyan,
perkampungan
Islam Kauman atau perkampungan pecinan.
mobilitas
penduduk di masa lampau, melainkan juga mencerminkan adanya
pola-pola
interaksi sosial lintas budaya.
Sikap
Toleransi dan Empati Sosial terhadap Keberagaman
Budaya
di Indonesia
Sejak
awal kemerdekaan bangsa Indonesia, para pendiri negara telah
menyadari
akan arti pentingnya pengembangan kerangka nilai atau etos
budaya
yang dapat mempersatukan masyarakat Indonesia yang bersifat
majemuk.
Kesadaran tersebut dituangkan dalam UUD 1945, Pasal 32
yang
berbunyi,”pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
Hal
tersebut diperkuat dalam penjelasan UUD 1945, ”Kebudayaan
bangsa
ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya
rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan-kebudayaan lama dan asli
yang
terdapat sebagai puncak-puncak di daerah di seluruh Indonesia,
terhitung
sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju
ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak
menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan
atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri
serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Kenyataan
bahwa masyarakat Indonesia
merupakan
masyarakat yang terdiri atas
kelompok-kelompok
suku, agama, daerah,
dan
ras yang beraneka ragam. Hal ini merupakan
ciri
khas masyarakat Indonesia sehingga
Indonesia
disebut sebagai masyarakat majemuk.
Pada
beberapa kelompok adat yang ketat,
membedakan
antarwarga dengan bukan
warga.
Kehadiran orang asing dilalui dengan
mengadakan
upacara adopsi untuk mempermudah
perlakuan,
kecuali kalau yang
bersangkutan
akan tetap diperlakukan sebagai
orang
luar atau musuh. Hal tersebut tercermin
dalam
upacara penyambutan pejabat di daerah
Tapanuli
di masa lampau. Para tamu tersebut
biasanya
disambut dengan upacara adat yang
memperjelas
kedudukannya dalam struktur
sosial
masyarakat Batak yang terikat dalam
hubungan
perkawinan tiga marga (dalihan na
tolu). Pada adat perang suku Dani di pegunungan
Jayawijaya,
di luar kelompok kerabat
patrilineal,
hubungan kekerabatan berasal dari
kelompok
sosial yang sangat kuat sehingga
untuk
mempermudah perlakuan terhadap orang
asing
maka upacara kelahiran kembali biasanya dilakukan terhadap
tamu
asing yang dihormati. Selain itu, di masa lampau, untuk mensahkan
kewenangan
Gubernur Jenderal van Imhoff sebagai wakil ratu, Belanda
mengundang
raja Jawa sebagai penguasa tertinggi di Mataram. Beliau
diberi
gelar sebagai Kanjeng Eyang Paduka Tuan Gubernur Jenderal untuk
menunjukkan
senioritas dalam struktur sosial.
Pengembangan
Sikap Toleransi dan Empati Sosial terhadap
Keberagaman
Budaya di Indonesia
Untuk
memelihara kesetiakawanan sosial maka suatu kelompok
suku
bangsa biasanya mengembangkan simbol-simbol yang mudah
dikenal,
seperti bahasa, adat istiadat, dan agama. Setiap suku bangsa
tersebut
merasa bahwa mereka memiliki simbol-simbol tertentu. Simbol
ini
diyakini perbedaannya dengan simbol-simbol suku bangsa lainnya
dan
berfungsi sebagai media untuk memperkuat kesetiakawanan sosial
mereka.
Di
Indonesia terdapat suku bangsa dan golongan sosial yang terlibat
dalam
interaksi lintas budaya secara serasi sehingga melahirkan sukusuku
bangsa
baru. Ini merupakan hasil amalgamasi atau asimilasi budaya.
Salah
satu bentuk amalgamasi budaya yang melahirkan suku bangsa
baru
adalah yang terjadi di Batavia. Penduduk Batavia yang berdatangan
dari
berbagai tempat dengan memiliki keanekaragaman latar belakang
kebudayaan
tersebut berhasil dipersatukan dalam kebudayaan Betawi
yang
dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin pada tahun 1923.
Selanjutnya,
setiap kelompok suku bangsa maupun golongan yang ada
menanggalkan
simbol-simbol kesukuan mereka dan mengembangkan
simbol-simbol
kesukuan baru serta memilih agama Islam sebagai media
sosial
yang memperkuat kesetiakawanan sosial.
1.
Proses Integrasi Budaya
Pada
masa pendudukan Jepang juga terjadi proses integrasi
budaya
di Indonesia. Jepang yang berusaha meraih simpati dari
rakyat
Indonesia, dengan mensahkan penggunaan bahasa Indonesia
sebagai
bahasa resmi maupun dalam pergaulan sosial sehari-hari.
Pengaruh
kebijakan tersebut sangat besar dalam pengembangan
budaya
kesetaraan pada masyarakat Indonesia. Keputusan Jepang
untuk
memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
tersebut
bukan hanya mengukuhkan media sosial yang diperlukan
melainkan
juga mematahkan salah satu lambang arogansi sosial,
yaitu
pemakaian bahasa Belanda pada masa penjajahan Belanda.
Jasa
lain penjajah Jepang yang tidak boleh diabaikan adalah
pembentukan
organisasi rukun tetangga (RT) sebagai organisasi
sosial
di tingkat lokal. Tujuannya untuk mempersatukan segenap
warga
masyarakat tanpa memandang asal usul kesukuan, golongan,
dan
latar belakang kebudayaan. Konsep ketetanggaan tersebut akan
memainkan
peranan penting dalam menciptakan wadah sosial yang
dapat
menjamin kebutuhan akan rasa aman warga, bebas dari
kecurigaan,
dan prasangka etnik, ras, dan golongan.
2.
Sikap Toleransi dan Empati terhadap Keberagaman Budaya
Agar
menghindarkan kecenderungan dominasi suatu suku
bangsa
terhadap suku bangsa lainnya maka harus ditingkatkan rasa
toleransi
dan empati terhadap keberagaman Indonesia. Misalnya,
proyek
pencetakan sejuta hektar sawah lahan gambut yang telah
dibatalkan.
Apabila proyek ini dilaksanakan dapat menjurus ke arah
dominasi
kebudayaan petani sawah dari Jawa yang dipaksakan
kepada
suku Dayak dan kebudayaannya yang dianggap kurang
sesuai
dengan arus pembangunan.
3.
Penerapan Pendekatan Multikultural
Pengembangan
model pendidikan yang
menggunakan
pendekatan multikultural
sangat
diperlukan untuk menanamkan nilainilai
pluralitas
bangsa. Sikap simpati,
toleransi,
dan empati akan tertanam kuat
melalui
pendidikan multikultural. Masyarakat
menyadari
akan adanya perbedaan
budaya
dan memupuk penghayatan nilainilai
kebersamaan
sebagai dasar dan pandangan
hidup
bersama.
Melalui
pendidikan multikultural, sejak
dini
anak didik ditanamkan untuk menghargai
berbagai
perbedaan budaya, seperti etnik,
ras,
dan suku dalam masyarakat. Keserasian
sosial
dan kerukunan pada dasarnya adalah
sebuah
mozaik yang tersusun dari keberagaman
budaya
dalam masyarakat. Melalui
pendidikan
multikultural, seorang anak
dididik
untuk bersikap toleransi dan empati
terhadap
berbagai perbedaan di dalam masyarakat. Kesadaran akan
kemajemukan
budaya dan kesediaan untuk bertoleransi dan
berempati
terhadap perbedaan budaya merupakan kunci untuk
membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara. Penerapan sikap
toleransi
dan empati sosial yang dilakukan oleh individu dalam
masyarakat
akan mencegah terjadinya berbagai konflik sosial yang
merugikan
berbagai pihak.
sumber : http://www.4shared.com/office/lvSaL65n/sma11antro_KhazanahAntropologi.html
waah.... sankyu buat artikelnya, bener2 ngebantu buat nyari tugas sekolah xD
BalasHapus