Manusia sebagai makhluk sosial memiliki Kemampuan berkomunikasi
menggunakan bahasa lisan maupun tulisan. Komunikasi yang dilakukan oleh
manusia ada kalanya berupa penyampaian informasi, baik itu berupa
informasi kekinian ataupun sebagai bentuk penyampaian informasi atas
warisan masa lalu. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan, bukan
berarti mereka tidak punya kemampuan untuk merekam dan mewariskan
pengalaman masa lalunya. Walaupun belum mengenal tulisan, akan tetapi
proses pewarisan atas pengalaman masa lalu tersebut dilakukan secara
lisan, proses pewarisan pengalaman masa lalu secara lisan tersebut
dikenal sebagai tradisi lisan.
Tradisi lisan dapat di artikan sebagai kebiasaan atau adat yang
berkembang dalam suatu komunitas masyarakat yang direkam dan diwariskan
dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan. Dalam tradisi lisan
terkandung kejadian – kejadian sejarah, adat istiadat, cerita, dongeng,
peribahasa, lagu, mantra, nilai moral, dan nilai keagamaan.
Perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut sehingga
menimbulkan banyak versi cerita. Menurut Suripan Sadi Hutomo (1991: 11),
tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni (1) yang berupa
kesusastraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3) yang
berupa pengetahuan folklore di luar pusat-pusat istana dan kota
metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan
folklore di luar batas formal agama-agama besar, (5) yang berupa
kesenian folklore di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan
(6) yang berupa hukum adat.
Pudentia (1999: 32) memberikan pemahaman tentang hakikat kelisanan
(orality) sebagai berikut:
Tradisi lisan (oral tradition) mencakup segala hal yang berhubungan
dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan
serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi,
tradisi lisan tidak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki,
peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya
diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan,
seperti: sejarah, hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala
wacana yang diucapkan/disampaikan secara turun-temurun meliputi yang
lisan dan yang beraksara” dan diartikan juga sebagai “sistem wacana yang
bukan beraksara.” Tradisi lisan tidak hanya dimiliki oleh orang lisan
saja. Implikasi kata “lisan” dalam pasangan lisan-tertulis berbeda
dengan lisan-beraksara. Lisan yang pertama (oracy) mengandung maksud
‘keberaksaraan bersuara’, sedangkan lisan kedua (orality) mengandung
maksud kebolehan bertutur secara beraksara. Kelisanan dalam masyarakat
beraksara sering diartikan sebagai hasil dari masyarakat yang tidak
terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang dianggap belum
sempurna/matang, dan sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan.
Dalam tradisi lisan, peranan orang yang dituakan seperti kepala suku
atau ketua adat sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh
kelompoknya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan secara
turun temurun.
Satu kelompok masyarakat dengan nilai, norma, tradisi, adat dan budaya
yang sama akan mempunyai jejak – jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat
yang belum mengenal tulisan jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan
dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya secara
lisan sehingga menjadi bagian dari tradisi lisan. Karya-karya dalam
tradisi lisan merupakan bagian dari sebuah folklore
http://kaharismakawijaya.wordpress.com/2012/07/16/apakah-yang-dimaksud-dengan-tradisi-lisan-5/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar