Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari
bagian barat pulau Jawa,
Indonesia,
dengan istilah Tatar Pasundan
yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat,
Banten,
Jakarta,
dan Lampung.
Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya
19,91% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama
Islam,
akan tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama kristen,
Hindu,
dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan
masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan
dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang
berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Jati
diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya
dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan
riang.[2]
Orang Portugis
mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur
dan pemberani. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan
diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang Surawisesa
atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan
diplomatik dengan Bangsa lain pada abad ke 15 dengan orang Portugis di Malaka. Hasil
dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal.
Beberapa tokoh Sunda juga menjabat Menteri dan pernah menjadi wakil Presiden
pada kabinet RI.
Disamping
prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia)
dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah pada bidang budaya yaitu
banyaknya penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki
prestasi di tingkat nasional, maupun internasional.[3]
Etimologi
Menurut
Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund
atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar,
terang, berkilau, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa
Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian:
bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada
(Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).
Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan
menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah
dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman
kerajaan Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga sekarang .
Nama
Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman
pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya.
Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670,
Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara
menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan
Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah
dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh.
Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai
Citarum sebagai batasnya.
Pandangan Hidup
Selain
agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda juga mempunyai pandangan
hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pandangan hidup tersebut tidak
bertentangan dengan agama yang dianutnya karena secara tersurat dan tersirat
dikandung juga dalam ajaran agamanya, khususnya ajaran agama Islam. Pandangan
hidup orang Sunda yang diwariskan dari nenek moyangnya dapat diamati pada
ungkapan tradisional, juga dari naskah kuno.[4]
Hubungan antara sesama manusia
Hubungan
antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus
dilandasi oleh sikap “silih asih,
silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling
mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana
kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian,
ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan berikut
ini:
- Kawas gula jeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.
- Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.
- Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.
- Ulah nyolok mata buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.
- Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya
Hubungan
antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang
Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela
negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang
berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan,
dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat
Sunda terpancar dalam ungkapan-ungkapan:
- Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
- Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (bersama-sama dalam suka dan duka).
- Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun)
Bahasa
Dalam
percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini
telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi
menggunakan bahasa Sunda dalam bertutur kata.[5]
Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung
dan Bogor,
dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.
Ada
beberapa dialek
dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa
Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya
membedakan enam dialek berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
- Dialek Barat (Bahasa Banten)
- Dialek Utara
- Dialek Selatan (Priangan)
- Dialek Tengah Timur
- Dialek Timur Laut (Bahasa Sunda Cirebon)
- Dialek Tenggara
Dialek
Barat dipertuturkan di daerah Banten dan Lampung. Dialek Utara mencakup daerah
Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa daerah Pantura. Lalu dialek
Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya.
Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di Kabupaten Majalengka dan Indramayu.
Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Cirebon dan Kuningan, juga di
beberapa kecamatan di Kabupaten Brebes dan Tegal, Jawa Tengah. Dan akhirnya
dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis, juga di beberapa kecamatan di
Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.
Kesenian
Seni tari
Seni
tari utama dalam Suku Sunda adalah tari
jaipongan, tari merak, dan tari topeng.
Tanah
Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan
adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau
Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan
modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu.
Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu degung. Musik
ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti gendang,
gong, saron, kacapi, dsb.
Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari
Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang
terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya
dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang
menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau
pesta pernikahan.
Wayang Golek
Tanah
Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan
sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara
merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian
dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan
Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek
biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya.
Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk)
dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang
dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik
melawan tokoh jahat). Cerita wayang yang populer saat ini banyak diilhami oleh
budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh
dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada
‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan
Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka
merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering
memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh
tersebut dengan variasi yang sangat menarik.
Seni musik
Selain
seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan
Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan
nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan
Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden
karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini
salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :
Bubuy
Bulan Es Lilin Manuk Dadali Tokecang Warung Pojok
1.
Calung
Calung
adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan
angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah
dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang
tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis
bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun
ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
2.
Angklung
Angklung
adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang
ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal
penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal.
Rumah Adat
Rumah
tradisional Sunda suhunan Julang Ngapak di Papandak, Garut
Secara
tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8
m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua
usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya
digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi,
kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan
sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog yang
terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak
tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam
rumah.
Rumah
adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk
atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan
Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit
Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang
paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di
desa-desa.
Jolopong
memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan
rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah
bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding
dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.
Interior
yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang
depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau
patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang
terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut
padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi untuk menerima tamu. Dulu,
ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti
meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang barulah yang
empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah
disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi
untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk ruang tidur, digunakan
Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang yang digunakan
untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga. Ruangan tengah digunakan
sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk melaksanakan
upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.
Ditilik
dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki
pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang
Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan
rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern
lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari
ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah
menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat
jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang
digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan
lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk
tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas
orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata
dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
Sistem Kekerabatan
Akad
nikah adat Sunda di depan penghulu dan saksi.
Sistem
keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari
pihak bapak dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala
keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat
mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam
suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk
menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang
berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut
(piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal
seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara
piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta
vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya.
Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah,
silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah
dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan.
Masakan Khas
Beberapa
jenis makanan jajanan tradisional Indonesia yang berasal dari tanah sunda,
seperti sayur asem, sayur lodeh, pepes, lalaban, dll.
Profesi
Mayoritas
masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, dan berladang, ini disebabkan tanah
Sunda yang subur.[6]
Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat Sunda yang berladang secara
berpindah-pindah.
Selain
bertani, masyarakat Sunda seringkali memilih untuk menjadi pengusaha dan
pedagang sebagai mata pencariannya, meskipun kebanyakan berupa wirausaha
kecil-kecilan yang sederhana, seperti menjadi penjaja makanan keliling, membuka
warung
atau rumah makan, membuka toko barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari, atau
membuka usaha cukur rambut, di daerah perkotaan ada pula yang membuka usaha
percetakan, distro, cafe, rental mobil dan jual beli kendaraan bekas. Profesi
pedagang keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya
dan Garut.
Chairul
Tanjung, Eddy Kusnadi
Sariaatmadja, dan Sandiaga Uno merupakan contoh-contoh pengusaha
berdarah Sunda yang berhasil. Chairul Tanjung dan Eddy Kusnadi Sariaatmadja
bahkan masuk ke dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia yang dirilis majalah
Forbes pada tanggal 29 November 2012.
Profesi
lainnya yang banyak dilakoni oleh orang Sunda adalah sebagai pegawai
negeri, penyanyi, seniman, dokter, diplomat dan pengusaha.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar